Rabu, 24 November 2021

Pendapat Pribadi Tentang Perkawinan Kurma

MUSYAWARAH Pendapat Pribadi Tentang Perkawinan Kurma Dari Thalhah bin Ubaidillah RA, dia berkata, "Saya bersama Rasulullah pernah berjalan melewati orang-orang yang sedang berada di pucuk pohon kurma. Tak lama kemudian beliau bertanya, 'Apa yang dilakukan orang-orang itu? "' Para sahabat menjawab, "Mereka sedang mengawinkan pohon kurma dengan meletakkan benang sari pada putik agar lekas berbuah." Maka Rasulullah pun berkata, "Aku kira perbuatan mereka itu tidak ada gunanya" Thalhah berkata, "Kemudian mereka diberitahukan tentang sabda Rasulullah itu. Lalu mereka tidak lagi mengawinkan pohon kurma." Selang beberapa hari kemudian, Rasulullah diberitahu bahwa pohon kurma yang dahulu dikawinkan itu tidak berbuah lagi. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, "Jika okulasi {perkawinan} pohon kurma itu berguna bagi mereka, maka hendaklah mereka terus melanjutkannya. Sebenarnya aku hanya berpendapat secara pribadi, oleh karena itu, janganlah menyalahkanku karena adanya pendapat pribadiku. Tetapi, jika aku beritahukan kepada kalian tentang sesuatu dari Allah, maka hendaklah kalian menerimanya. Karena, aku tidak pernah mendustakan Allah."(HR. Muslim) Musyawarah Menjelang Keberangkatan Perang badar Sekarang ia bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya. Diberitahukannya kepada mereka tentang keadaan Quraisy menurut berita yang sudah diterimanya. Abu Bakr dan Umar juga lalu memberikan pendapat. Kemudian Miqdad b. 'Amr tampil mengatakan: "Rasulullah, teruskanlah apa yang sudah ditunjukkan Allah. Kami akan bersama tuan. Kami tidak akan mengatakan seperti Banu Israil yang berkata kepada Musa: "Pergilahkamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah. Kami di sini akan tinggal menunggu. Tetapi, pergilah engkau dan Tuhanmu, dan berperanglah, kami bersamamu akan juga turut berjuang." Semua orang diam. "Berikan pendapat kamu sekalian kepadaku," kata Rasul lagi. Kata-kata ini sebenarnya ditujukan kepada pihak Anshar yang telah menyatakan Ikrar 'Aqaba, bahwa mereka akan melindunginya seperti terhadap sanak keluarganya sendiri, tapi mereka tidak mengadakan ikrar itu untuk mengadakan serangan keluar Medinah. Tatkala pihak Anshar merasa bahwa memang mereka yang dimaksud, maka Sa'd b. Musadh yang memegang pimpinan mereka menoleh kepada Muhammad. "Agaknya yang dimaksud Rasulullah adalah kami," katanya. "Ya," jawab Rasul. "Kami telah percaya kepada Rasul dan membenarkan," kata Sa'd pula, "Kamipun telah menyaksikan bahwa apa yang kaubawa itu adalah benar. Kami telah memberikan janji kami dan jaminan kami, bahwa kami akan tetap taat setia. Laksanakanlah kehendakmu, kami disampingmu. Demi yang telah mengutus kamu, sekiranya kaubentangkan lautan di hadapan kami, lalu kau terjun menyeberanginya, kamipun akan terjun bersamamu, dan tak seorangpun dari kami akan tinggal di belakang. Kami takkan segan-segan menghadapi musuh kita besok. Kami cukup tabah dalam perang, cukup setia bertempur. Semoga Tuhan membuktikan segalanya dari kami yang akan menyenangkan hatimu. Ajaklah kami bersama, dengan berkah Tuhan." Begitu Sa'd selesai bicara, wajah Muhammad tampak berseri. Tampaknya ia puas sekali; seraya katanya: "Berangkatlah, dan gembirakan! Allah sudah menjanjikan kepadaku atas salah satunya dari dua kelompok4 itu. Seolah-olah kini kehancuran mereka itu tampak di hadapanku." (Siroh Muhammad Husain Haikal) Pemilihan Posisi Badar Sedangkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam telah tiba di pinggir lembah seberang lain dengan posisi nyaris sehadap dengan lawan, dekat mata air Badr. Al Habbab bin Mundzir bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam : „Ya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam , apakah dalam memilih tempat ini anda menerima wahyu dari Allah swt, yang tidak dapat diubah lagi? Ataukah berdasarkan tipu muslihat peperangan ? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam menjawab:““Tempat ini kupilih berdasarkan pendapat dan tipu muslihat peperangan“. Al-Habbab mengusulkan :“Ya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam , jika demikian, ini bukan temapt yang tepat. Ajakalh pasukan pindah ke tempat air yang terdekat dengan musuh, kita membuat kubu pertahanan di sana dan menggali sumur-sumur di belakangnya. Kita membuat kubangan dan kita isi dengan air hingga penuh. Dengan demikian kita kana berperang dalam keadaan mempunyai persediaan air minum yang cukup, sedangkan musuh tidak akan memperoleh air minum.“ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam menjawab:“pendapatmu sungguh baik.“ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam kemudian bergerak dan pindah ke tempat yang diusulkan oleh Habbab. Di samping itu SA‘d bin Mu‘adz mengusulkan supaya dibuatkan ‚Arisy (kemah) untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam, sebagai tempat perlindungan, dengan harapan supaya bila ada sesuatu dan lain hal yang tidak diharapkan tejradi, Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam dapat kembali dengan mudah dan selamat kepada kaum Muslimin di Madinah dan agar mereka tidak lemah semangat karena ketidak beradaan Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam di antara mereka. Usulan ini disetujui Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam menenangkan jiwa para sahabatnya dengan adanya dukungan dan pertolongan Allah swt, sampai-sampai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam menegaskan kepada mereka :“Di sini tempat kematian si Fulan dan si Fulan (dari kaum Musyrikin)“, seraya meletakkan telapak tangannya di atas tanah. (Siroh Al Buthy) Musyawarah Tentang Tawanan Perang Ia menyerahkan masalah ini ketangan sahabat-sahabat kaum Muslimin. Diajaknya mereka bermusyawarah dan pilihan terserah kepada mereka. Kalangan Muslimin sendiri melihat tawanan-tawanan ini ternyata masih ingin hidup dan akan bersedia membayar tebusan dengan harga tinggi. "Lebih baik kita mengirim orang kepada Abu Bakr," kata mereka. "Dari kerabat kita ia orang Quraisy yang pertama, dan yang paling lembut dan banyak punya rasa belas-kasihan. Kita tidak melihat Muhammad menyukai yang lain lebih dari dia." Lalu mereka mengutus orang menemui Abu Bakr. "Abu Bakr," kata mereka. "Di antara kita ada yang masih pernah ayah, saudara, paman atau mamak kita serta saudara sepupu kita. Orang yang jauh dari kitapun masih kerabat kita. Bicarakanlah dengan sahabatmu itu supaya bermurah hati kepada kami atau menerima penebusan kami." Dalam hal ini Abu Bakr berjanji akan berusaha. Tetapi mereka kuatir Umar ibn'l-Khattab akan mempersulit urusan mereka ini. Maka mereka mengutus beberapa orang lagi kepadanya, dengan menyatakan seperti yang dikatakan kepada Abu Bakr. Tetapi Umar menatap mereka penuh curiga. Kemudian kedua sahabat besar Muhammad ini berangkat menemuinya. Abu Bakr berusaha melunakkan dan meredakan kemarahannya. "Rasulullah," katanya. "Demi ayah dan ibuku. Mereka itu masih keluarga kita; ada ayah, ada anak atau paman, ada sepupu atau saudara-saudara. Orang yang jauh dari kitapun masih kerabat kita. Bermurah hatilah kita kepada mereka itu. Semoga Tuhan memberi kemurahan kepada kita. Atau kita terimalah tebusan dari mereka, semoga Tuhan akan menyelamatkan mereka dari api neraka. Maka apa yang kita ambil dari mereka akan memperkuat kaum Muslimin juga. Semoga Allah kelak membalikkan hati mereka." Muhammad diam, tidak menjawab. Kemudian ia berdiri dan pergi menyendiri. Oleh Umar ia didekati dan duduk di sebelahnya. "Rasulullah," katanya. "Mereka itu musuh-musuh Tuhan. Mendustakan tuan, memerangi tuan dan mengusir tuan. Penggal sajalah leher mereka. Mereka inilah kepala-kepala orang kafir, pemuka-pemuka orang yang sesat. Orang-orang musyrik itu adalah orang-orang yang sudah dihinakan Tuhan." Juga Muhammad tidak menjawab. Sekarang Abu Bakr kembali ke tempat duduknya semula. Begitu lemah-lembut ia bersikap sambil mengharapkan sikap yang lebih lunak. Disebutnya adanya pertalian famili dan kerabat, dan kalau para tawanan itu masih hidup, diharapkannya akan mendapat petunjuk Tuhan. Sedang Umar kembali memperlihatkan sikapnya yang adil dan keras. Baginya lemah-lembut atau kasihan tidak ada. Selesai Abu Bakr dan Umar bicara, Muhammad berdiri. Ia kembali ke kamarnya. Ia tinggal sejenak di sana. Kemudian ia kembali keluar. Orang ramai segera melibatkan diri dalam persoalan ini. Satu pihak mendukung pendapat Abu Bakr, yang lain memihak kepada Umar. Nabi mengajak mereka berunding, apa yang harus dilakukannya. Lalu dibuatnya suatu perumpamaan tentang Abu Bakr dan Umar. Abu Bakr adalah seperti Mikail, diturunkan Tuhan dengan membawa sifat pemaaf kepada hambaNya. Dan dari kalangan nabi-nabi seperti Ibrahim. Ia sangat lemah-lembut terhadap masyarakatnya. Oleh masyarakatnya sendiri ia dibawa dan dicampakkan ke dalam api. Tapi tidak lebih ia hanya berkata: "Cih! Kenapa kamu menyembah sesuatu selain Allah? Tidakkah kamu berakal?" (Qur'an, 21: 67) Atau seperti katanya: "Yang ikut aku, dia itulah yang di pihakku. Tapi terhadap yang membangkang kepadaku, Engkau Maha Pengampun dan Penyayang." (Qur'an. 14: 36) Contohnya lagi di kalangan para nabi seperti Isa tatkala ia berkata: "Kalaupun mereka Engkau siksa, mereka itu semua hambaMu; dan kalau Engkau ampuni, Engkau Maha Kuasa dan Bijaksana." (Qur'an, 5: 118) Sedang Umar, dalam malaikat contohnya seperti Jibril, diturunkan membawa kemurkaan dari Tuhan dan bencana terhadap musuh-musuhNya. Di lingkungan para nabi ia seperti Nuh tatkala berkata: "Tuhan, jangan biarkan orang-orang yang ingkar itu punya tempat-tinggal di muka bumi ini." (Qur'an, 71: 26) Atau seperti Musa bila ia berkata: "O Tuhan! Binasakanlah harta-benda mereka itu, dan tutuplah hati mereka. Mereka takkan percaya sebelum siksa yang pedih mereka rasakan." (Qur'an, 10: 88) Kemudian katanya: "Kamu semua mempunyai tanggungan. Jangan ada yang lolos mereka itu, harus dengan ditebus atau dipenggal lehernya." Lalu mereka berunding lagi dengan sesamanya. Di antara mereka itu ada seorang penyair, yaitu Abu 'Azza 'Amr b. Abdullah b. 'Umair al-Jumahi. Melihat adanya pertentangan pendapat itu cepat-cepat ia mau menyelamatkan diri. "Muhammad," katanya, "Saya punya lima anak perempuan dan mereka tidak punya apa-apa. Maka sedekahkan sajalah aku ini kepada mereka. Aku berjanji dan memberikan jaminan, bahwa aku tidak akan memerangi kau lagi, juga sama sekali aku tidak akan memaki-maki kau lagi." Orang ini mendapat jaminan Nabi dan dibebaskan tanpa membayar uang tebusan. Hanya dialah satu-satunya tawanan yang berhasil mendapat jaminan demikian. Tetapi kemudian ia memungkiri janjinya, dan kembali ia setahun kemudian ikut berperang di Uhud. Ia kena tawan lagi lalu terbunuh. Pihak Muslimin, sesudah lama berunding akhirnya memutuskan, bahwa mereka dapat mengabulkan cara penebusan itu. Dengan dikabulkannya itu ayat ini turun. "Tidak sepatutnya seorang nabi itu akan mempunyai tawanan-tawanan perang, sebelum ia selesai berjuang di dunia. Kamu menghendaki harta-benda dunia, sedang Allah menghendaki akhirat. Allah Maha Kuasa dan Bijaksana." (Qur'an, 8: 67) (Siroh Muhammad Husain Haikal) Dari Ibnu Abbas, dia berkata, "...Dalam peperangan (badar) itu, kaum muslimin berhasil membunuh tujuh puluh pasukan kaum musyrikin, dan menawan pasukan kaum musyrikin dalam jumlah yang sama.Ketika kaum muslimin berhasil menawan beberapa orang tawanan perang dari kaum musyrikin, Rasulullah bertanya kepada Abu Bakar dan Umar, 'Bagaimana menurut pendapatmu mengenai nasib para tawanan ini'Abu Bakar menjawab, "Ya Rasulullah, sebenarnya mereka termasuk sanak saudara kita sendiri. Oleh karena itu, menurut saya sebaiknya kita minta fidyah (tebusan) saja dari mereka dan hasil dari penarikan fidyahtersebut dapat kita jadikan kekuatan tersendiri untuk menghadapi serangan kaum kafir yang berikutnya. Mudah-mudahan Allah memberikan hidayah-Nya kepada mereka"."' Kemudian Rasulullah beralih kepada Umar bin Khaththab seraya bertanya kepadanya,"Lalu, bagaimana menurut pendapatmu mengenai para tawanan ini hai Ibnu Khaththab?" Umar bin Khaththab menjawab, "Demi Allah ya Rasulullah, saya tidak sependapat dengan gagasan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Menurut hemat saya, sebaiknya kita tebas saja batang leher mereka semua. Biarkanlah Ali yang akan menebas batang leher si Aqil. Sedangkan saya, terserah siapa saja yang akan diserahkan kepada saya untuk ditebas batang lehernya. Yang jelas, mereka semua pemimpin-pemimpin kaum kafir." Setelah mendengar pendapat kedua orang sahabat terdekatnya, Abu Bakar dan Umar bin Khaththab, ternyata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam cenderung kepada pendapat Abu Bakar dan kurang setuju dengan pendapat saya (Umar bin Khaththab). Keesokan harinya, saya datang menemui Rasulullah dan Abu Bakar. Tetapi betapa terkejutnya saya, ketika melihat Rasulullah dan Abu Bakar terduduk sambil menangis. Saya bertanya, "Ya Rasulullah, ceritakanlah kepada saya apa yang menyebabkan engkau dan Abu Bakar menangis seperti ini? Kalau seandainya ada suatu hal yang perlu untuk ditangisi, maka saya pun akan berupaya ikut menangis bersama engkau. Seandainya tidak ada sesuatu yang perlu ditangisi, maka saya akan pura-pura menangis bersama engkau!" Rasulullah menjawab,"Hai Ibnu Khaththab, aku menangis karena menerima pendapat sahabat-sahabatmu yang menawarkan kepadaku untuk mengambil uang tebusan dari mereka. Sesungguhnya siksa mereka telah diperlihatkan kepadaku dekat pohon itu." Yaitu pohon yang dekat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam." Kemudian turunlah firman Allah SWT"Tidak patut bagi seorang nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuh-musuhya di muka bumi ini. Kamu menghendaki harta benda duniawi, sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu), dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu akan ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil itu. Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang kamu ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." Akhirnya Allah menghalalkan harta rampasan perang kepada mereka (kaum muslimin). (HR. Muslim) Musyawarah Posisi Perang Uhud Hari itu hari Jum'at. Nabi memimpin sembahyang jamaah, dan kepada mereka diberitahukan, bahwa atas ketabahan hati mereka itu, mereka akan beroleh kemenangan. Lalu dimintanya mereka bersiap-siap menghadapi musuh. Selesai sembahyang Asar Muhammad masuk kedalam rumahnya diikuti oleh Abu Bakr dan Umar. Kedua orang ini memakaikan sorban dan baju besinya dan ia mengenakan pula pedangnya. Sementara ia tak ada di tempat itu orang di luar sedang ramai bertukar pikiran. Usaid b. Hudzair dan Sa'd b. Mu'adh - keduanya termasuk orang yang berpendapat mau bertahan dalam kota berkata kepada mereka yang berpendapat mau menyerang musuh di luar: "Tuan-tuan mengetahui, Rasulullah berpendapat mau bertahan dalam kota, lalu tuan-tuan berpendapat lain lagi, dan memaksanya bertempur ke luar. Dia sendiri enggan berbuat demikian. Serahkan sajalah soal ini di tangannya. Apa yang diperintahkan kepadamu, jalankanlah. Apabila ada sesuatu yang disukainya atau ada pendapatnya, taatilah." Mendengar keterangan itu mereka yang menyerukan supaya menyerang saja, jadi lebih lunak. Mereka menganggap telah menentang Rasul mengenai sesuatu yang mungkin itu datang dari Tuhan. Setelah kemudian Nabi datang kembali ke tengah-tengah mereka, dengan memakai baju besi dan sudah pula mengenakan pedangnya, mereka yang tadinya menghendaki supaya mengadakan serangan berkata: "Rasulullah, bukan maksud kami hendak menentang tuan. Lakukanlah apa yang tuan kehendaki. Juga kami tidak bermaksud memaksa tuan. Soalnya pada Tuhan, kemudian pada tuan." "Kedalam pembicaraan yang semacam inilah saya ajak tuan-tuan tapi tuan-tuan menolak," kata Muhammad. "Tidak layak bagi seorang nabi yang apabila sudah mengenakan pakaian besinya lalu akan menanggalkannya kembali, sebelum Tuhan memberikan putusan antara dirinya dengan musuhnya. Perhatikanlah apa yang saya perintahkan kepada kamu sekalian, dan ikuti. Atas ketabahan hatimu, kemenangan akan berada di tanganmu." Demikianlah prinsip musyawarah itu oleh Muhammad sudah dijadikan undang-undang dalam kehidupannya. Apabila sesuatu masalah yang dibahas telah diterima dengan suara terbanyak, maka hal itu tak dapat dibatalkan oleh sesuatu keinginan atau karena ada maksud-maksud tertentu. Sebaliknya ia harus dilaksanakan, tapi orang yang akan melaksanakannya harus pula dengan cara yang sebaik-baiknya dan diarahkan ke suatu sasaran yang yang akan mencapai sukses. (Siroh Muhammad Husain Haikal) Pengambilan Keputusan Untuk suku Gathafan Melihat keadaan kaum Muslimin yang semakin terancam ini maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam meminta pandangan Sa‘ad bin Muadz Sa‘ad bin Ubadah untuk melakukan perdamaian dengan kabilah Ghatfahan dengan memberikan sepertiga hasil panen kota Madinah agar mereka bersedia untuk tidak ikut memerangi kaum Muslimin. Keduanya menjawab :“Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam , apakah pemikiran ini merupakan perintah yang engkau inginkan agar kami melaksanakannya ataukah perintah yang diperintahkan oleh Allah kepadamu, ataukah sekedar kebijaksanaan yang engkau ambil untuk meringankan kami?“. Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam menjawab , „Hanya sekedar kebijaksanaan yang aku ambil untuk menghancurkan kepungan mereka terhadap kalian.“ Pada saat itu SA‘ad bin Muadz berkata kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam ,“ Demi Allah, kita tidak perlu mengambil langkah itu. Demi Allah kmai tidak akan rela memberikan sesuatu kepada mereka selain daripada pedang sampai Allah memutuskan sesuatu antara kami dan mereka.“ Setelah mendengar ucapan Sa‘ad bin Muadz ini wajah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam kelihatan berseri dan berkata kepadanya :“Engkau dan apa yang engkau inginkan“(Siroh Al Buthy) Musyawarah di Masa Umrah Peristiwa ini terjadi pada bulan Dzulqoidah, perhujung tahun keenam Hijriyah. Sebabnya karena Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam mengumumkan kepada kaum Muslimin keiinginannya untuk berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah umrah. Pengumuman ini disambut oleh sekitar 1400 orang sahabat dari kaum Muhajirin dan Anshar . Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam berihram untuk umrah ini ditengah perjalanan dan membawa serta binatang-binatang korban (al-Hadyu) supaya diketahui oleh orang-orang bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam keluar bukan untuk bermaksud perang tetapi semata-mata untuk ziarah ke Baitullah, menunaikan ibadah umrah. Tatkala sampai di Dzul Hulaifah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam mengutus seorang intelnya dari suku Khuza‘ah, Basyar bin Sofyan, untuk mencari berita mengenai penduduk Mekkah. Sementara itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam melanjutkan perjalanan hingga sampai di Ghadir al Asyathah. Dan, di tempat itulah intel yang diutus oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam tersebut datang menyampaikan laporan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam :“Bahwa orang-orang Quraisy telah mengumpulkan bala tentara, termasuk kaum Ahabisy (orang-orang yang berada di bawah pengaruh Quraisy) untuk memerangi dan menghalau engkau dari Baitullah.“ Setelah mendengar laporan ini Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda kepada para sahabatnya :“Bagaimana pendapat kalian?“ Abu Bakar ra menyampaikan pendapatnya :“Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam , engkau keluar untuk maksud ziarah ke Baitullah, bukan untuk membunuh seseorang atau memerangi seseorang. Berangkatlah terus! Jika ada orang yang menghalangi kita maka kita akan memeranginya.“ Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda :“Berangkatlah dengan nama Allah.“(Siroh Al Buthy) Usul Sahabat Untuk Membuat Stempel Rasulullah Ibnu Sa‘ad meriwayatkan di dalam Thabaqatnya : Sekembalinya dari Hudaibiyah pada bulan Dzulhijjah tahun keenam Hijrah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam mengirim beberapa utusan kepada raja dan menulis beberapa surat, mengajak mereka untuk menganut Islam. Dikatakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam, sesungguhnya para raja tidak mau membaca surat yang tidak distempel. Maka sejak itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam membuat stempel (cincin) terbuat dari perak yang bertuliskan tiga kata : Muhammad Rasul Allah Dengan cincin inilah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam menyetempel surat-suratnya. (Siroh Al Buthy)

Jasa Pengetikan Online Murah di Bumi Sari Natar Lampung Selatan

Jasa Pengetikan Online Murah di Bumi Sari Natar Lampung Selatan Kami merupakan jasa ketak ketik yang bergerak di bidang usaha pengetikan kom...